Tuesday 7 November 2017



Perangi Hoax, Genggam Kebenaran
Oleh Silvia Dyah Puspita Sari

      Perbincangan tentang hoax atau berita bohong semakin menarik perhatian masyarakat. Dalam kamus oxford dijelaskan istilah hoax mempunyai makna kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Zaman memang semakin mengalami perkembangan, termasuk dalam hal penyampaian berita. Dahulu hanya bisa melalui secarik kertas atau media cetak. Saat ini, sudah marak berita melalui media sosial (medsos). Laksana lahan luas yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna atau warga internet (biasa disebut dengan netizen).
      Acapkali medsos bisa dijadikan sebagai wahana komunikasi, menampung dan menyebarkan berbagai infomasi. Namun, bisa jadi sebagai lahan subur untuk menebarkan berbagai kebohongan. Sebagai contoh, pada tahun 2013 ada hoax tentang makanan atau minuman produk tertentu yang dapat menyebabkan kanker. Tentu saja berita tersebut merugikan perusahaan yang menjual produknya. Selain itu, juga ada netizen yang menyebutkan bahwa minuman serbuk memiliki kandungan berbahaya yang dapat menyebabkan batuk dan pengerasan otak.
      Tak hanya hoax tentang makanan dan minuman, di sisi lain juga ada hoax tentang keadaan sosial, informasi yang bisa menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Penyebaran hoax melalui medsos sangatlah cepat. Bahkan, dalam hitungan menit bisa diakses oleh ratusan bahkan ribuan pengguna internet lainnya. Hoax seakan semakin meraja lela, sehingga bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
      Oleh karena itu, hoax tersebut sudah sepatutnya kita perangi. Kita sebagai guru, yaitu pendidik bagi calon generasi penerus bangsa harus menggenggam erat nilai-nilai kebenaran yang ada.
Anti Hoax Sang Pendidik
      Guru dan siswa perlu bekerja sama untuk memerangi hoax. Guru yang mempunyai tugas mendidik dan membimbing siswa bisa memaksimalkan potensi yang ada. Tindakan menangkal, mencegah, dan menanggulangi bahaya hoax jauh lebih baik jika dilakukan sedini mungkin. Melakukan hal-hal yang dapat mengubah pola pikir siswa. Terutama pada siswa usia SD yang masih cenderung bersifat imitasi. Mereka masih suka meniru hal-hal yang diajarkan atau dicontohkan oleh gurunya.
      Acapkali siswa baik di lingkungan sekolah atau rumah, pernah dihebohkan oleh hoax yang sedang marak. Termasuk kita sebagai pendidik pastinya pernah mengalami hal serupa tentang hoax. Hoax sering ditelan mentah dan dianggap sebagai hal yang benar. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus. Jadi, kita haruslah bersikap anti terhadap hoax yang semakin menjadi-jadi.
      Kita sudah sepatutnya untuk mengidentifikasi mana berita hoax dan mana yang berita asli. Ada lima hal yang dapat kita lakukan yaitu hati-hati dengan judul provokatif, cermati alamat situs, periksa fakta, cek keaslian foto, dan ikut serta grup diskusi anti hoax. Seringkali berita hoax bersifat provokatif, judul berita dibuat sensasional agar menarik perhatian netizen. Akan tetapi, isi berita kadang tidak sesuai. Kita perlu waspada jika menemukan berita yang demikian. Sebaiknya cari sumber lain atau situs resminya.
      Ketika membuka situs, cermati link atau URL-nya, apakah itu benar-benar website resmi atau hanya blog pribadi netizen. Setelah membuka situs, periksa tentang kebenaran fakta dari berita tersebut. Apakah memang benar-benar fakta atau hanya sekadar opini? Netizen pasti bisa menyimpulkan jika memang ada niatan untuk meneliti. Hal lainnya dengan mengecek keaslian foto. Netizen bisa masuk ke dalam pencarian Google Images. Selain melakukan cara-cara itu, kita juga bias berdiskusi dengan teman-teman di grup tertentu yang membahas tentang hoax.
      Berdasarkan keadaan yang terjadi, kita sebagai pendidik pun tahu bahwa perkembangan penyebaran berita semakin cepat dan meluas sejak ada internet. Menurut KBBI edisi elektronik, disebutkan bahwa internet adalah jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia melalui jaringan telepon atau satelit.
Termasuk siswa juga sudah terbiasa dengan smartphone/android yang tak bisa dipisahkan dengan internet.
      Kita tentunya paham, internet bisa dijadikan sebagai media belajar siswa, tetapi juga tidak menutup kemungkinan juga banyak informasi yang sekadar hoax. Hal itu tentu mempunyai dampak negatif. Terdapat empat dampak hoax yang dapat merugikan.
      Pertama, hoax merugikan suatu pihak. Ketika berita yang tak jelas kebenarannya disebarkan pada masyarakat umum, sudah pasti aka nada pihak yang dirugikan. Misalnya saja, pada tahun 2011 ada hoax yang menyebutkan tentang bahayanya meminum minuman sachet. Netizen yang membuat tulisan hoax tersebut, terang-terangan memaparkan daftar nama minuman tersebut. Jelas sekali hal itu ditujukan pada suatu perusahaan tertentu.
      Selain itu, jika hoax berkaitan dengan pihak yang bersifat individu, jelas sekali merugikan seseorang yang tidak bersalah. Citra nama baik menjadi terkotori hanya karena penyebaran berita yang tidak bertanggung jawab oleh para pembuat hoax. Acapkali, hoax hanya untuk ajang kesenangan saja bagi pelaku. Mereka melakukan tanpa memikirkan akibat bagi orang yang bersangkutan.
      Kedua, hoax dapat memberikan reputasi buruk akan seseorang atau sesuatu. Ketika kita menerima atau mendapat berita, kita langsung membagikannya kepada teman lainnya, kita juga termasuk dapat memberikan reputasi yang buruk pada orang lain atau sesuatu jika itu berupa barang. Hoax dapat membuat citra orang menjadi jelek, menurunkan kualitas penjualan produk dan barang tertentu. Ketika hoax sudah tersebar meluas, tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab akan hal itu. Jadi, sebaiknya kita tetap selektif ketika mendapatkan informasi atau berita apapun.
      Ketiga, hoax dapat menyebarkan fitnah. Seperti ungkapan bahwa sebenarnya fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Hal itu dapat dibenarkan. Karena kita orang sudah dibunuh, maka sudah selesai urusan dengan kehidupan dunianya. Akan tetapi, kita orang difitnah, orang tersebut akan menanggung malu seumur hidupnya. Fitnah hanya bisa berakhir jika ada yang berhasil membersihkannya. Itupun, tak bisa dikatakan dapat bersih seperti sedia kala.
      Keempat, hoax itu menyebarkan informasi yang salah. Pada saat kita menemukan suatu informasi atau berita yang judul beritanya terlihat sensasional, jangan langsung percaya begitu saja. Coba buka dan baca isi berita tersebut. Kejadian tersebut karena trik pembuat berita agar konten atau isi berita mendapatkan banyak pengunjung. Terlalu banyak tipu daya yang terjadi di jejaring sosial atau media sosial yang ada.
      Berdasarkan uraian tentang dampak dari hoax, kita sebagai pendidik perlu memberikan pendidikan atau edukasi kepada siswa atau keluarga. Pendidikan anti hoax dapat dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya saja dengan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu kehidupan di sekolah maupun di rumah. Guru dan siswa tetap perlu berkomunikasi agar lebih tercipta suasana yang akrab untuk diskusi bersama.
      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita tentang permasalahan yang dihadapi atau dirasakan oleh siswa. Akan lebih baik lagi jika menumbuhkembangkan kesadaran bagi guru dan siswa untuk tidak menjadi pembuat dan penyebar berita hoax. Belajar untuk mencegah dan menangkal berita hoax sebisa mungkin.
      Penulis secara pribadi juga pernah mempunyai pengalaman tentang adanya berita hoax. Ketika memperoleh informasi tentang minuman sachet yang dikabarkan berbahaya, tidak langsung percaya begitu saja. Akan tetapi, berusaha mencari informasi lain yang dirasa lebih akurat dan dapat dipercaya. Hal tersebut perlu dibuktikan kebenarannya. Bisa juga dengan melakukan uji coba terhadap minuman tertentu. Tak hanya itu, lebih baik bertanya daripada diam dalam ketidaktahuan.
      Seperti halnya tentang berita hoax yang baru-baru ini terjadi yaitu tentang registrasi kartu prabayar. Ada berita yang menyebar di medsos yang mengabarkan bahwa registrasi ulang paling lambat tanggal 31 Oktober 2017. Apabila pengguna kartu tidak melakukan registrasi, maka kartu akan diblokir. Mengetahui berita seperti itu, jelas itu merupakan berita hoax.
      Sebagai warga negara yang baik, kita harus berpikir cerdas. Jangan langsung percaya dengan hal atau berita yang baru. Bahkan, berita tentang kewajiban melakukan registrasi kartu prabayar juga ditayangkan di televisi. Selain itu, juga ada SMS resmi dari Kominfo yang berisi bahwa per 31 Oktober 2017 pelanggan wajib registrasi ulang nomor prabayar dengan Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Kartu Keluarga.
      Penulis sendiri mencoba untuk menelaah setiap kata dan menganalisis mana yang hoax, mana yang berita asli. Jelas bahwa per 31 Oktober itu berarti mulai tanggal 31 Oktober. Kalau ada yang menyebutkan bahwa berakhir tanggal tersebut, jelas itu yang namanya hoax.
      Apabila kita menemukan berita hoax, sebaiknya tak hanya berpangku tangan saja. Alangkah baiknya jika kita bisa melaporkan tindakan tersebut. Ada cara yang dapat dilakukan untuk melaporkan hoax pada masing-masing media yang digunakan. Jika kita menjumpai hoax di Facebook, kita bisa menggunakan fitur Report Status atau Laporkan Status. Kalau ada banyak orang yang melaporkan, biasanya status akan dihapus oleh Facebook.
      Akan tetapi, jika kita menjumpai hoax di Google, tentu menu fiturnya juga berbeda dari Facebook. Pada Google, kita dapat memanfaatkan fitur feedback sebagai umpan balik karena telah menemukan informasi yang palsu. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika membuka layanan untuk pengaduan konten negatif. Netizen dapat melapor melalui e-mail yang ditujukan ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id untuk menyampaikan aspirasi tentang hoax yang diketahui.
      Setelah kita mengetahui tentang hoax dan bahaya negatifnya, termasuk cara memerangi hoax tersebut, tentunya kita sebagai pendidik dapat semakin semangat dalam memerangi hoax. Katakan tidak pada hoax, tetap genggam nilai kebenaran yang ada. Percaya boleh asal pada berita yang benar. Membiasakan berpikir cerdas dalam menerima setiap berita maupun informasi akan menjadikan kita lebih cerdas melangkah dan selektif dalam dunia nyata maupun medsos. 


#antihoax #marimas #pgrijateng




Monday 24 October 2016

Mengurangi Gadget, Bangkitkan Permainan Kekean Oleh Silvia Dyah Puspita Sari Dewasa ini, mayoritas anak-anak lebih memilih bermain dengan gadget (red.Indo:gawai). Ialah alat-alat yang memiliki tujuan dan fungsi praktis, alat yang rancangannya lebih canggih jika dibandingkan sebelumnya. Sesuatu yang dikemas serba lebih praktis tentunya. Entah itu berupa telepon seluler yang berupa handphone (HP) biasa, tablet, android, ataupun laptop/notbook/netbook. Di dalam gadget banyak dijumpai berbagai permainan. Dengan memegang gadget, dunia serasa di tangan. Ada banyak jenis permainan, semuanya tinggal mengunduh saja. Memiliki gadget serasa suatu kebutuhan. Padahal, hal tersebut kurang bagus jika terlalu sering. Rasa solidaritas dan sosial dengan teman-temannya menjadi berkurang. Beberapa hari ini, ada orangtua dari anak-anak yang mempunyai inisiatif untuk membangkitkan salah satu permainan tradisional. Kekean. Begitulah anak-anak Desa Dukuhseti menyebutkan nama permainan tersebut. Kekean terbuat dari kayu yang dipahat. Bawahnya berbentuk kerucut, dan bagian atas dibuat agak kecil. Anak-anak yang memainkan kekean memerlukan tali atau rafia yang sudah dipelintir halus. Tali tersebut dilingkarkan pada bagian atas kekean. Permainan tersebut dimainkan oleh 3 sampai 6 orang. Pada awal permainan, mereka bersama-sama mengucapkan, “Ting gontang ganting kayu lodro gemak seser.” Lalu, mereka menghempaskan kekean yang dilingkari tali tadi. Kekean yang paling seser atau yang berputar paling lama ialah yang menang. Sedangkan, yang paling cepat berhenti adalah yang kalah. Setelah itu, dilanjutkan panggalan (red: melempar dengan mengenai sasaran) untuk menentukan pemenang akhir dari rangkaian permainan. Yang kalah, memainkan terlebih dahulu. Dilanjutkan secara urut sampai yang terakhir, yang pada awal permainan paling seser, memanggalkan kekean. Selanjutnya, kekean yang masih bertahan berputar, ialah pemenang terakhirnya. (SV-1)

Friday 25 December 2015

Si Bolang
Oleh Silvia Dyah Puspita Sari 

Pagi yang bersahabat. Matahari mulai menunjukkan dirinya dengan malu-malu. Dari kejauhan terlihat sosok anak laki-laki yang berperawakan tinggi berjalan pelan di sekitar persawahan itu. Ia pun segera duduk di galengan sawah, memandangi matahari dan menikmati sepoinya angin pagi. “Hmmm, sejuknya...” katanya sembari menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Tak terasa hampir setengah jam ia hanya duduk di tempat itu. Sampai-sampai ia tak merasa bahwa ada orang yang memperhatikannya dari kejauhan. Ia baru tersadar ketika ada suara yang terdengar lantang memanggilnya, “Bolang... Si Bolang... Ayo cepat pulang!” tetapi ia hanya diam. Ia sudah tak asing dengan suara itu yang tak lain adalah ayahnya. Perlahan suara itu semakin keras, berkali-kali. Ternyata ayahnya sudah berada di belakangnya. Si Bolang mengarahkan mata ke arah ayahnya. Kali ini ayahnya menatap tajam, Bolang menundukkan wajah dan segera berdiri, tak ingin membuat orang tua satu-satunya marah di pagi yang begitu bersahabat ini. “Mau jadi apa kamu, Bondan? Tiap hari kerjaannya seperti ini. Ayo berangkat sekolah. Udah besar juga, ingat umurmu, seharusnya kamu sudah tamat MTs/SMP dan tanpa disuruh pun kamu harus tahu, kamu ini harus berbuat apa,” kata ayahnya kepada Bolang yang mempunyai nama asli Bondan. “Bapak ‘kan sudah tahu kalau aku ini ingin sekali menjadi pemain kendang dangdut. Kenapa juga harus sekolah?” jawab Bolang sambil berjalan kaki meninggalkan persawahan dan kembali menuju rumahnya. Ayahnya mengikuti dari belakang. “Bondan... Sebenarnya,” sapa ayahnya dengan halus, belum selesai Bolang sudah memotongnya, “Bapak, panggil aku dengan nama Bolang saja, aku lebih suka dipanggil Bolang seperti tadi ketika Bapak memanggil aku dari jauh.” “Iya iya, Bon, eh Bolang... Sekolah ‘kan bisa buat kamu tambah pintar, punya pengalaman dan tambah teman juga. Kalau ingin jadi pemain kendang dangdut juga harus sekolah, paling tidak harus lulus sekolah, minimal belajar sembilan tahun. Pemain dangdut bukan orang biasa-biasa saja, harus punya ilmu dan punya ijazah tentunya. Kalau kamu bisa lulus sekolah ‘kan nanti dapat ijazah terus digunakan untuk syarat jadi pemain kendang dangdut,” terang ayahnya dengan dalih membujuk anak semata wayangnya agar mau sekolah. “Oh, begitu ya, Bapak? Jadi memang benar harus sekolah dulu kalau mau jadi pemain kendang dangdut? Yang biasa Bapak katakan itu benar, ya?” tanya Bolang dengan pertanyaan beruntun sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ayahnya hanya tersenyum puas karena Bolang terlihat setuju-setuju saja dengan pernyataan ayahnya yang belum pasti kebenarannya. Pada saat itu pula, Bolang bersiap-siap berangkat sekolah. Ia begitu lincah dan cepat dalam bertindak. Tidak lebih dari setengah jam udah siap dengan seragamnya. Ini kali terlihat agak rapi dari biasanya. Baju putih tak terlihat begitu putih dan celana panjang birunya yang sudah terlihat rapi. Hanya saja sepatunya sudah terlihat agak butut. Sebelum berangkat, seperti biasa ia duduk di ruang tamu sambil memainkan kendangnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendendangkan lagu dangdut yang disukainya. “Bolang, Ibu harap ini terakhir kali kamu pindah sekolah. Ibu sudah tidak sanggup menahan malu setiap kali pindah selang beberapa hari pasti ada surat undangan dari sekolah melaporkan kenakalanmu itu. Jika terjadi demikian lagi, Ibu akan minggat tidak mau mengurusmu lagi.” Pesan ibunya sebelum Bolang berangkat sekolah. “Bolang, ingat, ini hari pertamamu di sekolah baru, di Madrasah Tsanawiyah desa sebelah, kamu jangan sampai berbuat yang aneh-aneh, jangan sampai kamu dikeluarkan dari sekolah lagi, Bapakmu ini sudah tua, sudah capek kalau harus ngurus pindah sekolahmu entah ini sudah yang ke berapa kalinya,” ungkap ayahnya dengan mengelus dada sambil menghembuskan nafas panjang. Bolang hanya senyam senyum mendengar ucapan ibu dan ayahnya. “Eh, sebentar, nanti kalau memperkenalkan diri menggunakan nama Bondan saja ya?” pesan ayahnya. “Ah, Bapak, nama Bolang saja ya...” pinta Bolang dengan tetap bersi keras. “Ya terserah kamu saja lah, yang penting sekolah yang benar, tapi kenapa kok kamu malah suka dipanggil Bolang?” tanya ayahnya perlahan. “Bolang terdengar lebih gaul, Bapak! Itu ‘kan nama julukanku sejak usiaku dua belas tahun, karena suka berpetualang, aku ini bocah petualang atau bolang, Bapak.” Jawabnya dengan bangga sambil membusungkan dadanya ke depan sambil ditepuk-tepuk dengan telapak tangan kanannya. “Ya sudah, sana berangkat!” kata Bapaknya sambil melambai-lambaikan tangan kanannya. Bolang pergi saja tanpa pamitan pada ayahnya, seperti biasa hanya dengan senyuman dan sedikit anggukan kepalanya. Bolang pergi ke sekolah berteman dengan sepeda onta ayahnya, ia mengayuh sepeda dengan sangat cepatnya. Di tengah perjalanan menuju sekolah barunya, ia melihat warung kecil, ia berhenti mengayuh dan menghentikan sepedanya. Ia berdiri tenang, diam tanpa kata melihat warung tersebut. Matanya tertuju pada sebungkus rokok. Ia merasa menemukan oase di tengah perjalanannya. Ia termenung beberapa menit kamudian menggeleng-gelengkan kepalanya, “Wah, enak sih enak, tapi aku harus sekolah, anak sekolah tidak boleh merokok, kata Pak Guru itu tidak baik untuk badan, aku tidak mau rokok lagi, aku pasti bisa,” ia kembali mengayuh sepedanya. Beberapa menit kemudian, Bolang sampai di depan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang ditujunya. Bel masuk berbunyi, ia sampai dengan tepat waktu. “Untung saja upacara bendera belum dimulai,” lontarnya tiba-tiba. Ia langsung memarkirkan sepedanya di tempat parkir sepeda. Banyak anak melihatinya dengan penuh tawa dan senyuman yang seakan meremehkan. Beberapa anak yang berada di pojok tempat parkir berucap agak keras, “Hari begini masih naik onta? Entar Ontanya buang kotoran disini lho, kamu harus membersihkannya. Hahaha... Nggak gaul!” Bolang tidak terima diejek seperti itu, ia pun membentak seketika, “Heh! Ngapain lihat-lihat! Kamu itu yang nggak gaul!” Beberapa anak tadi berlari menjauh menuju barisan. Pada saat yang bersamaan, seorang guru laki-laki mendekat ke arah Si Bolang, “Kamu Bondan anak baru di kelas VIII (baca: delapan) ya?” “Iya, Pak. Panggil saya Bolang saja Pak, saya tidak suka nama Bondan. Bolang lebih gaul, Pak.” Ucapnya penuh ketegasan. “Ya sudah, Bolang, lain kali sama teman harus lebih sopan, jangan membentak seperti itu, ini di madrasah, tempat untuk belajar, tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tapi juga akhlak dan perilaku semua siswa yang sekolah di sini. Tasmu diletakkan di sini dulu, kamu segera masuk ke barisan,” kata guru laki-laki tersebut dengan ramah kemudian menunjukkan Bolang ke barisan dengan arahan tangannya. Bolang berlari ke barisan sambil berkata dalam hati, “Wah, ternyata ada guru yang sangat baik hati, sedikit pun tidak marah padaku ketika aku dirasa salah, guru tadi hanya menasehatiku, ramah pula.” Bolang terlihat senyam senyum sendiri. Teman di sekelilingnya melihatnya dengan sedikit aneh sambil mengeleng-gelengkan kepala. **** Tak terasa, Bolang sudah genap seminggu di madrasah. Bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Ia baru melangkahkan kaki memasuki ruang kelas tanpa berucap salam. Padahal, sudah ada guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ya. Hari ini adalah hari pertama ia terlambat masuk kelas. Guru tersebut meminta ia berdiri sebentar di depan kelas. “Bondan, eh Bolang, tunggu dulu, jangan duduk dulu,” Bolang menghentikan langkah. “Iya, Bu. Ada apa?” tanya Bolang dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Kamu tahu kalau kamu terlambat?” “Iya, Bu, saya tahu, karena itu saya ingin segera duduk dan mengikuti pelajaran dari ibu.” Jawab Bolang dengan tegas. “Baiklah, tidak apa-apa untuk hari ini karena kamu masih baru di madrasah ini. Ibu suka kedisiplinan, dengan disiplin nanti hidup bisa lebih teratur, hargailah waktu. Begini Bolang, kalau kamu terlambat, sebaiknya mengucapkan salam ketika akan masuk ruang kelas, dan sebaiknya juga meminta maaf kepada guru yang sedang mengajar.” Jelas ibu guru dengan penuh kesabaran. “Iya, Bu Lastri yang baik hati,” jawab Bolang kepada gurunya sambil menyebut nama karena Bu Lastri suka dengan keramahan siswanya. Bu Lastri tersenyum dan mempersilakan Bolang duduk. Seisi kelas sudah terbiasa memanggil Bondan dengan nama Bolang, termasuk guru-guru. Beberapa jam telah terlewati. Siswa kelas VIII-A sudah mulai merasa lelah, sampai akhirnya terdengar bel istirahat yang sudah tidak asing di telinga. Anak-anak keluar kelas dan menuju kantin. Bolang masih di dalam kelas. Ia hanya bisa memandangi temannya yang sedang menikmati jajanan. Ada beberapa teman sekelasnya yang membawa makan kecil yang telah dibeli dari kantin untuk dimakan di dalam kelas. Bolang pun mulai berbuat semaunya. “Eh, kelihatannya enak, sini aku minta jajanmu!” Bolang mengambilnya sendiri. “Jangan, Bolang! Ini jajanku,” teriak teman yang badannya lebih kecil dengan wajah ditekuk. “Tapi aku ingin,” jawab Bolang masih mempertahankan. Salah satu teman mendekat dan ikut berbicara, “Bolang, kamu nggak boleh seperti itu pada Deni. Sesama teman harus saling berbuat baik, kalau meminta sesuatu pun harus dengan izin yang punya. Ini makan saja jajanku kalau kamu mau,” katanya sambil menyodorkan satu bungkus jajan ke arah Bolang. “Terima kasih ya, Wahyu. Maaf ya Den, tadi sudah berlaku yang nggak baik padamu,” ujar Bolang sambil berlalu kemudian menikmati jajan tersebut. Keesokan harinya adalah pelajaran Olahraga, pelajaran yang sangat disukai oleh Bolang. Ia terlihat beda karena masih mengenakan seragam olahraga sekolah lamanya. Bolang bersama teman sekelas sudah berada di sisi lapangan, ia menghampiri guru olahraga. “Pak Pono, hari ini olahraganya apa?” tanyanya dengan polos. “Nanti kalian jalan-jalan pelan, terus lari mengelilingi lapangan. Ya biasa pemanasan dulu. Setelah itu, nanti kalian bermain kasti,” terangnya dengan santai. “Oke, Pak, siap,” ucapnya sambil berdiri tegak dan mengangkat tangan kanannya layaknya hormat bendera. Pak Pono tersenyum, Bolang kembali bersama teman sekelasnya. Pelajaran olahraga berlangsung, siswa-siswa terlihat semangat berlari mengelilingi lapangan. Ketika berlari, Bolang menikmatinya dan seperti biasa sambil bernyanyi dangdut, kali ini yang menjadi sasarannya adalah pundak temannya. “Ah, Bolang, lagi-lagi hobimu menabuh yang tidak pada tempatnya,” kata temannya sambil tertawa lepas. Bolang merasa senang karena temannya tidak marah, ia menjadi semakin akrab dengan teman sekelasnya itu. “Iya, Dito, aku sangat suka menabuh kendang, aku punya dua kendang di rumah, kapan-kapan kalau kamu mau main ke rumahku boleh kok,” ucapnya tiba-tiba dengan terus menabuh-nabuh pundak temannya. “Wah, boleh juga itu Bolang, kelihatannya asyik,” kata Dito dengan tetap berlari di depan Bolang. Setelah berlari, mereka bermain kasti. Tidak terasa pelajaran olahraga pun hampir berakhir, Bolang dan teman-temannya beristirahat. Semua siswa minum air putih yang dibawanya sebagai bekal, kecuali Bolang yang terlihat diam karena hanya dia yang tidak membawa bekal minum. “Bolang, coba ke sini sebentar!” Pak Pono memanggilnya, Bolang segera berdiri dan melangkahkan kaki ke sumber suara. “Iya, Pak Pon, ada apa?” tanya Bolang kaget dan dengan tetap memanggil gurunya dengan panggilan akrab yaitu Pak Pon yang kebetulan lahirnya dengan weton pon . “Kamu tidak bawa bekal ya? Ini Bapak punya air minum untuk kamu, lekas diminum ya,” kata Pak Pono sambil menyodorkan satu botol air minum ke arah Bolang. Bolang pun mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. ****

        Suatu ketika saat jam istirahat Bolang curhat sama guru yang paling dianggapnya baik, Pak Pono, ya curhat dengan guru olahraga yang memang paling dekat dengan siswa. Bolang merasa dekat dengan Pak Pono. Ini adalah kali pertama ia curhat dengan guru di sekolahnya. “Pak Pon, baru kali ini lho saya betah di sekolah, Madrasah Tsanawiyah di sini bisa membuat saya nyaman, apalagi dengan Bapak,” Bolang pun memulai curhatnya. Ia tidak malu sedikit pun. Pak Pono juga terlihat antusias menanggapi cerita Bolang. Terus guru itu mengorek info tentang dirinya lebih dalam. Dengan polosnya dia mengakui segala yang pernah dilakukannya, dia juga sudah terbiasa bonek ke Jatim hanya untuk lihat tontonan dangdut favoritnya. “Dulu saya juga sering menenggak minuman keras, Pak, sebelum saya tahu kalau minuman keras itu haram, yang jelas tidak boleh diminum begitu ‘kan, Pak? Kita hanya boleh minum yang halal saja ya, Pak? Saya baru tahu setelah saya belajar di Madrasah,” ujarnya dengan tanpa bersalah. “Iya, Bolang. Kalau minum sesuatu harus yang halal agar air yang mengalir di tubuh kita mengalir sesuatu yang baik. Oh ya Bolang, jangan suka bepergian jauh-jauh sendirian lagi, bisa membuat orang tua khawatir. Belajar untuk menjadi anak yang shaleh, bisa membahagiakan orang tua itu menyenangkan lho, dapat pahala juga,” terang Pak Pono dengan santai dan terlihat ramah. Lima belas menit berlalu begitu cepat. Bel masuk telah dibunyikan oleh petugas. “Pak, saya pamit ke kelas dulu,” ucapnya dan Pak Pono menjawab dengan anggukan. Kali ini adalah pelalajaran matematika, salah satu pelajaran yang membosankan bagi si Bolang. Di tengah pelajaran ia menabuh-nabuh meja layaknya menabuh kendang kesayangannya. Ia pun menabuh sambil bernyanyi pelan. “Bolang, jangan menabuh meja seperti ini, apalagi di tengah pelajaran, matematika lagi, nanti Pak Yudi bisa marah lho,” teman sebangkunya mengingatkan. “Biarin, aku bosan, Ebed,” jawabnya dengan tetap melantunkan syair-syair lagu dangdut tanpa menghiraukan nasehat temannya. Sejenak kemudian, Pak Yudi menghampiri tempat duduk Si Bolang. Sampai-sampai ia tidak menyadari kalau guru sudah berada di sebelahnya, “Bolang, apa yang kamu lakukan?” “Saya nyanyi saja Pak, saya ingin jadi pemain kendang dangdut, Pak,” jawabnya dengan santai. “Ya, boleh-boleh saja kamu punya keinginan, nyanyi pun boleh, tapi harus pada tempatnya,” Bolang dinasehati. Pak Yudi tidak ingin membuat Bolang merasa dimarahi karena sedikit tahu alasan Bolang pindah-pindah sekolah karena kenakalannya. Kali ini Bolang mendapatkan suatu teguran yang membuatnya kegirangan. “Bolang, kamu suka nyanyi ya?” “Iya, Pak, saya sangat suka nyanyi, tapi lagu dangdut,” jawab Bolang dengan tersenyum. “Kalau begitu, Bapak ingin mendengar kamu bernyanyi di depan kelas, iramanya boleh dangdut, tapi syairnya tentang matematika, boleh sambil menabuh sesuatu. Bagaimana kamu berani tampil di depan?” Pak Yudi bertanya dengan penuh tantangan. Ia ingin agar Bolang juga menjadi suka dengan matematika. Menggabungkan metode bernyanyi sambil belajar matematika. Bolang diam, ia menundukkan wajah terlihat ragu. “Saya tidak suka pelajaran matematika, Pak,” jawabnya agak malu. “Wah, sayang sekali ya kalau begitu, Bolang. Padahal kamu punya bakat yang bagus, katanya ingin jadi pemain kendang dangdut, masa’ malu kalau cuma nyanyi dangdut di depan kelas? Masalah syair, ambil dari yang Bapak ajarkan tadi ‘kan bisa.” Tegas Pak Yudi sambil tersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba Bolang berdiri dan mengagetkan seisi kelas. “Baik, Pak. Saya ingin jadi pemain kendang dangdut, saya berani tampil di depan kelas. Bolang melangkahkan kaki menuju depan. Sesampainya di depan ia berdiri kaku dan hanya menggeleng-gelengkan wajah ke kanan dan ke kiri. Wajahnya terlihat pucat pasi, tangannya gemetaran. “Bagaimana, Bolang? Kenapa diam? Seorang pemain harus kreatif, ini baru lingkup kecil, hanya di dalam kelas, kamu pasti bisa. Ayo, semangat!” Pak Yudi memberikan motivasi pada Bolang kemudian mengalihkan pandangan kepada siswa satu kelas sambil berkata, “Ayo semua siswa, kita berikan tepuk tangan untuk Bolang, calon pemain kendang terkenal, dia akan menyanyikan sebuah lagu.” Seisi kelas memberikan tepuk tangannya. Wajah Bolang terlihat ceria. Baru kali ini ia mendapatkan tepuk tangan yang semeriah ini dari teman-temannya. Perlahan ia membuka mulutnya dan mulai melantunkan syair-syair. Ia masih terbata-bata dalam bernyanyi karena ia tidak suka matematika. Akan tetapi, lama kelamaan ia mulai luwes bernyanyi tentang matematika. Ini kali pertama ia mulai menyukai pelajaran matematika. Kini aku suka Matematika memang aku suka (ya-ya-ya) Kini aku gila Matematika kini aku memang gila (ya-ya-ya) Setelah aku tahu Matematika dapat mencerdaskan otakku (o-o, o-o) Setelah aku tahu Matematika dapat mencapai prestasiku (o-o, o-o) Bolang sudah selesai bernyanyi, ia pun berlari kecil ke arah Pak Yudi sambil berkata, “Pak Yudi, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya bernyanyi, matematika ternyata menyenangkan ya,” ucap Bolang seketika dengan wajah berbinar-binar sambil menyalami dan mencium tangan guru tersebut. “Iya, Bolang. Sama-sama. Kamu sangat hebat. Kalau kamu suka sesuatu, Bapak percaya kalau kamu bisa melakukannya. Semoga kelak kamu bisa menjadi pemain kendang profesional. Banyak-banyak berdoa ya. Kamu juga harus rajin belajar supaya kamu bisa menjadi anak yang shaleh, pintar dan ilmu kamu pun bertambah,” ucap Pak Yudi kemudian menambahkan, “ya untuk semuanya saja, belajar yang rajin, menuntut ilmu di sekolah dan juga di kehidupan bermasyarakat juga bisa, supaya jadi anak yang bermanfaat untuk agama, orang tua, dan bermanfaat bagi siapa pun,” Pak Yudi melanjutkan pelajaran, kali ini Bolang memperhatikan dengan saksama. Bolang benar-benar terlihat bahagia. Sifat ramah guru dan teman-temannya membuatnya betah di Madrasah Tsanawiyah tersebut. Ia ingin menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada orang tuanya. Di dalam hatinya ia berharap penuh keyakinan bahwa kelak ia bisa menjadi pemain kendang profesional dan bisa membahagiakan orang tuanya. **** Silvia Dyah Puspita Sari. Guru SDN Kertomulyo 01, Trangkil, Pati. Alumni UNNES jurusan PGSD. Inspirasi cerita diperoleh dari Ubaidillah Adib (rekan guru di Pati).

Thursday 2 May 2013

Guru Honorer Perlu Perhatian Pemerintah* Oleh Silvia Dyah Puspita Sari, S.Pd. Guru SDN Kertomulyo 01, Trangkil, Kabupaten Pati Guru honorer mengajar layaknya guru pada umumnya. Mereka datang mengajar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tujuannya sama. Baik di sekolah-sekolah negeri atau swasta, para honorer tetap meluangkan waktu. Hanya saja, rasa rindu pada perhatian pemerintah tetaplah ada. Bagaimana tidak? Jumlah jam mengajar guru honorer juga hampir sama dengan guru-guru yang sudah PNS. Bahkan, kadang beban jam mereka lebih banyak. Lebih dirasakan lagi oleh honorer yang di SD negeri. Mereka mengajar sebagai guru kelas, beban jam mengajar sudah melebihi beban jam minimal. Maraknya guru honorer di SD negeri juga disebabkan maraknya guru PNS yang pensiun. Guru SD di Jawa Tengah sudah banyak yang pensiun. Di Pati sendiri banyak SD negeri yang kekurangan guru kelas. Tak lain karena makin banyaknya jumlah guru PNS pensiun. Mengingat itu, banyak SD negeri mengangkat guru non-PNS untuk mengisi kekosongan di kelas. Guru honorer memasuki lingkup SD negeri, tapi tak berstatus pegawai negeri. Guru pensiun masih mendapatkan haknya berupa uang pensiunan. Lalu bagaimana dengan nasib guru honorer? Mereka yang sudah bekerja layaknya jam minimal mengajar bagi guru PNS, tentu sangat merindukan perhatian dari pemerintah. Hanya saja, gaji yang diterimanya masih sangat minim. Gaji honorer di Pati berkisar Rp 200.000,00 sampai Rp 300.000,00. Gaji tersebut jika diakumulasi per harinya hanya dapat dijadikan sebagai uang ganti transport. Lain halnya guru yang sudah PNS, hanya selisih angka nol di belakang. Jumlah jam mengajar tetapi selisih gaji yang didapatkan begitu besar nominalnya. Butuh Perhatian Guru honorer sangat merindukan saat-saat ada kesetaraan antara guru honorer dan guru PNS. Tentunya berharap adanya pengangkatan dari pemerintah. Pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka menunggu ketetapan formasi CPNS 2013. Bahkan untuk jumlah formasi dari pemerintah sangat dinanti-nantikan. Pemerintah perlu mengkaji ulang jumlah tenaga pendidik atau guru yang dibutuhkan oleh daerah. Bisa memperhitungkan baik buruknya untuk pendidikan. Setidaknya untuk tahun ini pemerintah membuka pendaftaran khusus honorer dan juga pendaftaran melalui jalur umum. Bulan ini menjadi angin segar bagi para guru honorer katerogi II, khususnya guru-guru di Pati. Mereka sudah mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes CPNS, walaupun masih tetap ada seleksi bagi mereka. Hasil tes mempengaruhi kelanjutan hidup mereka. Akankah mereka menjadi PNS di tahun mendatang? Semua masih tanda tanya karena tak ada jaminan lulus 100% bagi para guru honorer kategori II tersebut. Di sisi lain, masih banyak diketahui, banyak sekolah-sekolah, khusunya jenjang SD yang banyak mengalami kekosongan guru kelas sehingga sekolah menerima guru honorer yang masih tergolong muda. Lantas, bagaimana dengan honorer muda, tak lain yang bekerja baru-baru ini? Perhatian dari pemerintah sangat diharapkan publik. Terlebih mengenai gaji yang didapatkan guru honorer. Sembari menunggu adanya pengangkatan yang belum jelas kapan waktunya, para honorer begitu butuh perhatian. Sekiranya bisa diusulkan dari pemerintah untuk memberikan tunjangan ataupun menetapkan anggaran khusus bagi para honorer. Nominal berkisar Rp 200.000,00 sampai Rp 300.000,00 masih tergolong minim untuk kategori pekerja guru, gaji yang masih dibawah standar pegawai. Guru kurang diperhatikan. Bagaimana Indonesia ingin maju? Pendidikan saja masih tertinggal. Bagaimana Indonesia ingin berkembang? Kalau pemerintah tidak mensubsidi para guru dalam menjalankan tugasnya. Tetapkan Nominal Sudah sepantasnya pemerintah menetapkan nominal gaji untuk guru honorer. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 dianggarkan Rp 331 triliun, Rp 23,4 triliun untuk BOS dan Rp 43,1 triliun untuk tunjangan guru. Dengan nominal sebesar itu, pemerintah dapat mengalokasikan untuk kebutuhan pendidikan, baik itu pengadaan buku-buku belajar bagi siswa, media pembelajaran, tunjangan bagi para guru. Mengingat untuk guru sendiri mendapatkan jatah Rp 43,1 triliun, sebaiknya ada sedikit perhatian kepada guru honorer yang masih termasuk muda dalam bekerja, tertunya anggaran standar gaji bagi para honorer. Dengan kata lain, jika gaji nominal sudah ditetapkan selayaknya beban kerja, para guru akan lebih merasa dihargai oleh pemerintah. Menilik lebih dalam. Gaji guru honorer masih dibawah upah pekerja. Upah minimum regional (UMR) yang diberikan oleh pengusaha atau pelaku industri kepada para pekerja, karyawan, atau buruh yang bekerja sesuai bidangnya di perusahaan tempat mereka bekerja. UMR untuk pegawai di Jawa Tengah sudah termasuk cukup tinggi, sudah berada antara Rp 500.00,00 dan Rp 1.000.000,00. Pegawai atau pekerja non-kependidikan saja mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam bentuk penetapan UMR. UMR tersebut diatur oleh Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan adanya UU tersebut semakin membuat guru honorer merasa dianaktirikan oleh negara. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kondisi pendidikan ssat ini dan keadaan guru. Oleh karena itu, guru tetap harus menjalankan tugasnya sebagai mana mestinya dan melakukan tugas mengajar dengan sebaik-baiknya, pemerinta sebaiknya melakukan pendataan dengan jeli terhadap kekurangan guru SD negeri di Jawa Tengah, khususnya Pati. Banyak SD yang kekuranga guru kelas sehingga jika ada pengangkatan baik itu khusus guru honorer kategori I dan II ataupun pengangkatan melalui jalur umum melalui seleksi tes CPNS, sudah sepatutnya untuk memprioritaskan jumlah guru yang dibutuhkan. * dimuat di Koran Barometer, 9 April 2013
Penantian yang Tertunda* “Aku harus bisa!!!”, teriak gadis berambut panjang mengagetkan teman-temannya. Semua mata yang sedang berada di ruangan yang tak begitu luas itu tertuju padanya dengan penuh tanda tanya. Namun, ia hanya tersenyum. Sunggingan di bibir mungilnya hanya menambah rasa penasaran oleh semua yang mengharap jawaban, terlebih Karti yang selalu ingin tahu. Karti mengangkat alis kanannya ke atas dan memanyunkan bibirnya. Gadis yang berteriak tadi tak menghiraukan rasa penasaran teman-temannya. Biarlah. Pikir gadis itu dalam hati, lalu melangkahkan kaki menjauhi yang lain. Ia berjalan pelan menuju ruang terbuka di depan kamarnya. Matanya mengintai ke arah sekitar tempat ia berada. “Alhamdulillah sepi…”, katanya dengan riang. Ia selalu mencari ketenangan dalam hidupnya. Penuh misteri dalam harinya. Itulah anggapan teman serumah tentang dirinya. Ya. Mereka adalah anak sekolahan yang hidup jauh dari orangtua demi menuntut ilmu. Mungkin itu juga yang kadang menjadi beban dalam hari-hari gadis itu. Selalu terdiam dalam pikiran, tak pernah ia menceritakan masalah pada orang lain kecuali pada seorang yang dituakannya, orang serumah yang begitu bijaksana baginya. ”Piah… Piah…”, terdengar suara yang tak asing baginya memanggil namanya dari kejauhan. Ia tak segera menjawab sampai asal suara tadi terdengar kembali dengan jelas di sebelahnya. “Eh, iya… Ada apa?”, jawab gadis tadi dengan nada datar tanpa rasa bersalah. “Hmmm…. Kamu ini!!! Dipanggil berkali-kali nggak menjawab, ngapain aja sih kamu tadi, Pi?” Bukannya langsung menjawab pertanyaan Piah, tapi wajah gadis yang selalu ingin tahu ini malah terlihat begitu suram, perkataannya agak keras tak seperti biasaya, kedua tangannya ia genggamkan dengan kuat-kuat. Piah agak terkejut dan meringis melihat teman sekamarnya yang bersikap tak wajar ini. “Maaf Kar… Ada apa…?”, tanya Piah hati-hati dengan memelankan nada bicaranya ketika menatap kedua mata teman sekamarnya. Karti terdiam. Nafasnya masih kencang tak beraturan. Bagai seorang yang baru selesai lari marathon. Piah agak penasaran dibuatnya dan mencoba menenangkan perasaan temannya. “Duduklah…”, pinta Piah seraya memohon pada Karti. Karti langsung mengikuti permintaan teman baiknya untuk duduk. Dia pun menyandarkan kepala di bahu Piah. Airmatanya perlahan menetes, membasahi lengan baju Piah. Nafasnya masih tak beraturan. Sejenak suasana menjadi hening seperti di makam yang tiada suara sedikit pun. Hanya kicauan burung yang mengisi keheningan. Melihat Karti seperti itu, Piah tak tega, ia pun mulai memecahkan suasana, dengan hati-hati ia bertanya. Ternyata orangtua Karti menelponnya agar dia langsung menikah setelah lulus sekolah. “Menyenangkan sekali”, pikir Piah yang ingin segera bertemu jodohnya kemudian menikah. Hal itu malah membuat Karti sedih karena dia merasa belum siap. “Terimakasih ya, Pi. Aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi selain ke kamu, aku percaya padamu, jangan ceritakan ini kepada siapapun ya…”, ucap Karti memelas. “Insya Allah…”, jawab Piah santai sambil menyibakkan senyum di bibirnya. Mentari mulai bergerak menuju peraduannya, langit mulai berubah menjadi gelap. Kedua sahabat yang duduk di ruang terbuka seketika beranjak dari tempatnya menuju ruang yang penuh kenangan selama hampit tiga tahun lamanya. Piah duduk di tempat belajarnya, mengulurkan tangan, menyibak buku demi buku di rangkaian kumpulan buku Islaminya yang direncanakan kelak akan dijadikan sebagai buku untuk perpustakaan pribadi. Sungguh keinginan yang begitu tak terbayangkan oleh teman seusianya. Ia pun mengambil buku tentang cinta dan pernikanan yang belum selesai dibacanya subuh tadi. Baru tiga lembar ia membaca, suara muadzin dari masjid sebelah mengagetkan seriusnya ketika membaca. Ia pun menutup buku dan segera keluar mengambil air wudlu. Ia dan teman serumah antre ketika itu. Rumah yang dihuni 21 orang termasuk pemiliknya itu terlihat ramai ketika waktu maghrib tiba. Berjamaah. Itulah kebiasaan di rumah atau pesantren binaan Bapak Kiai dari Pati itu. Mereka yang tinggal di rumah itu sangatlah merasa senang dan nyaman karena kesabaran Bapak Kiai dan kebaianhati Ibuk kepada mereka bak orang tua kandung yang mengayomi anak-anaknya. Setelah berjamaah semua penghuni rumah tetap berada di Mushala kecil depan rumah itu untuk melantunkan syair cinta pada-Nya. Satu per satu menghadap Bapak Kiai untuk ngaji dan dibenarkan bacaannya kalau ada yang salah. Sekalian berjamaah shalat isya. Suasana seperti inilah yang bisa menjadi penyembuh penantian Piah. Penantian apakah itu? Penantian yang selalu membuat dia selalu merenung dan melamun di tempat yang jauh dari keramaian temannya. “Piah, aku ke kamar dulu ya…”, sapa teman satu per satu meninggalkannya. “Iya… Silakan…”, jawabnya ringan. Piah selalu biasa, santai dengan sikap teman-temannya, tapi dia selalu banyak pikiran dan tidak sering bercerita. Dia pun memanfaatkan waktu seperti ini untuk menjernihkan pikirannya dan bercerita kepada Bapak Kiai tentang masalah yang kadang dihadapinya. Dia senang bisa cerita dan tentunya selalu mendapatkan solusi dari Bapak Kiai. Namun, kali ini berbeda. Ia diam saja sampai Bapak Kiai meninggalkan Mushala. Ia hanya tersenyum ketika Bapak Kiai mengajaknya. Ini kali ia terdiam sendirian di Mushala. Air matanya perlahan membasahi pipinya. Kerongkongannya terasa kering. Sesak di dada mulai membuncah. Dia pun berucap seraya berdoa dengan suara terisak. “Ya Allah… Yang Maha Pemberi… Berikanlah hamba-Mu ini jodoh yang terbaik… Jodoh yang bisa menjadi imam hamba… Ya Allah, Karti yang belum ingin menikah, sekarang sudah ada calon, lalu siapakah calon pendamping hidupku kelak??? Aku butuh pangeran hatiku Ya Allah… Pertemukanlah aku dengannya segera”. *** “Kring… Kring… Kring…”, seperti biasa jam 03:00 WIB suara alarm Piah berbunyi meninggi. Ia membuka mata perlahan, disapunya kedua ujung mata dengan jari tengahnya yang lentik itu. Ia menatap atap tempat ia terlelap tadi. Alhamdulillah… Ungkapnya dalam hati kemudian berdoa sebelum ia beranjak dari tempat tidur dan mematikan alarmnya. Seperti yang sering ia lakukan, ia selalu mengambil air wudlu setelah bangun dari lelapnya. Ia pun shalat tahajjud di kamar yang masih tak ada bising sedikitpun. Usai shalat, ia tak kembali menikmati tidurnya lagi, tetapi ia melantunkan ayat-ayat suci sampai berlembar-lembar banyaknya kemudian tak lupa ia berdoa. Kemudian sampai subuh tiba, ia melanjutkan dengan mengkaji pelajaran untuk persiapan Ujian Nasional yang akan berlangsung 5 bulan lagi. Suara kokokan ayam mulai terdengar bersahutan, fajar mulai menyingsing. Matahari mulai menampakkan diri dari arah timur. Penghuni rumah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, begitu pula dengan Piah. Inilah hari pertama di awal pekan, mereka harus segera ke sekolah untuk mengikuti rutinitas yang tak asing lagi di hari ini. Upacara bendera dilaksanakan. Semua murid khidmad mengikuti, termasuk Karti yang berdiri di sebelah kiri Piah karena mereka adalah teman sekelas di jurusan Bahasa. Upacara selesai, semua murid memasuki kelas masing-masing. “Pi, aku mau minta tolong kamu, boleh nggak?”, tanya Karti setelah sampai di depan kelas. “Bilang aja, nggak usah malu-malu gitu lah”, jawab Piah sambil memegangi jilbab sebahunya yang tertiup angin. Karti masih pikir panjang sebelum mengutarakan maksudnya kemudian mengajak Piah duduk di teras. Mereka terlihat serius ketika bercakap-cakap. Sampai akhirnya Karti meminta kepastian dari gadis yang duduk di sebelahnya itu. “Bagaimana, Pi? Kalau bisa, aku akan mengabarinya saat ini juga. Nanti sepulang sekolah, aku akan menyuruhnya menunggu di taman sekolah. Aku akan menemani kalian…” “Hmmm… Aku bingung”, ungkap Piah sambil menutupkan kedua tangan di wajahnya. Dia berpikir agak lama sampai dikagetkan oleh satu kali bunyi bel pertanda mulainya jam pelajaran. Keduanya beranjak dari duduknya, Karti melihat ke arah Piah mengharap kesediaannya. “Bolehlah…”, jawab Piah tiba-tiba mengagetkan sahabatnya. Mendengar jawaban dari mulut gadis berbibir mungil itu, wajah Karti seperti terkena sinar matahari yang begitu terang. Bel sekolah telah berbunyi sampi tiga kali pertanda waktu pulang, bagi kelas X dan XI tentunya karena kelas XII masih ada tambahan pelajaran. Kedua sahabat itu langsung berlari menuju Mushala untuk melaksanakan kewajibannya, kemudian berjalan pelan ke taman sekolah yang berada di depan dekat lapangan tennis. Piah duduk di kursi taman dengan hati yang penuh dengan debaran dan tak pernah berhenti menggerakkan jemarinya, Karti hanya tersenyum melihat kegelisahan sahabatnya. Dua menit kemudian yang ditunggu-tunggu datang juga. Piah tak berani bergerak, sosok yang masih asing baginya mendekat. Mata keduanya bertatapan tanpa disengaja, lalu Piah pun agak menunduk, malu. Wajahnya memerah. “Pi, kenalkan, ini saudaraku yang dari Kota Jenang itu”, jelas Karti datar dengan tersenyum. “Perkenalkan, aku Heru, anak Kudus”. “Salam kenal, aku Piah, anak Pati asli”. Mereka pun berbicara seperti layaknya sahabat karib yang sudah lama tak bertemu, terlihat begitu akrab. Karti melihat jam tangan yang dikenakannya, waktu menunjukkan jam 13.55 WIB. Dia pun bertuturkata, “Her, udahan dulu ya, sudah jam segini, kami ada tambahan jam, sebentar lagi masuk”. Sebelum berpisah terdengar jelas di telinga Piah ketika Heru berkata, “Terimakasih, senang bisa mengenalmu”. Piah hanya tersenyum. Heru pergi, keduanya pun bergegas meninggalkan taman menuju kelas. Mereka berlari melewati aula, laboratorium bahasa, dan perpustakaan. Sampailah di pertigaan lorong kelas, mereka berbelok ke kanan menuju ruang kelas. Belum sampai di kelas, bel sudah berbunyi. Mereka menghentikan langkah lari kemudian berjalan melihat guru yang tengah berjalan pelan. Ketika tambahan jam, Piah terlihat begitu ceria dari aura di wajahnya, bersinar, terlihat jelas bahwa hatinya sedang berbunga-bunga. Usai tambahan jam, seperti biasa Piah dan Karti menuju ke Parkiran, mengambil sepeda mininya. Ya. Setiap hari mereka mengayuh sepeda ke Sekolah tanpa rasa malu. Hanya mereka yang bersepeda ke Sekolah sedangkan yang lain sudah bersepeda motor. Tiga hari sejak hari itu, handphone Piah berdering. “Hah? Nomor baru? Hmmm… Siapa ya?”, ungkap Piah yang penuh tanda tanya dalam dirinya. Semula ia jarang mengangkat telepon dari nomor yang asing baginya, tapi kali ini? Ia begitu ragu untuk tak menghiraukan panggilan tersebut. “Assalamualaikum…”, ucapnya pelan dan hatinya begitu tak karuan ketika mengangkat telepon dari nomor asing tadi. Terdengar dari arah sana menjawab salamnya. Suara yang masih asing baginya, tapi ia merasa pernah mendengar suara seperti itu. Mereka pun bercakap-cakap sampai hampir satu jam lamanya. Ternyata, penelepon itu adalah orang yang pernah ditemuinya beberapa hari yang lalu di taman sekolah. Hari berganti hari. Seminggu yang begitu cerah telah terlampaui secerah hati Piah ketika menerima telepon dari orang asing yang taka sing lagi di hatinya. “Pi, senyam senyum terus, ada apa sih?”, tanya Karti dengan nada curiga menyadari perubahan teman sekamarnya. “Oh, nggak apa-apa Kar… Emang salah ya kalau aku bahagia?” Malam harinya, Piah kembali ditelepon oleh orang asing tadi, mereka bercakap-cakap lama seperti biasanya. Akan tetapi, mala mini begitu berbeda dari malam biasanya. “De’ Piah, aku mau bilang sesuatu padamu, tapi jangan marah ya?” “Iya Mas Heru, bilang saja, silakan… Insya Allah aku tidak akan marah Mas”, jawab Piah santai. “De’, jujur, sejak aku bertemu kamu, perasaan ini menjadi tak menentu, hari-hariku menjadi hampa tanpa dirimu, aku ingin selalu bersamamu, aku ingin agar kau menjadi belahan hatiku…”, ungkap Heru panjang lebar kepada Piah yang hanya terdiam bagai disambar petir mendengar rangkaian kata manis dari bibir orang yang mulai masuk dalam hatinya. “De’, maukah kau menjadi pacarku?”, tanya Heru kemudian. Piah masih terdiam. Pacaran… Satu kata yang tak pernah ada dalam kamus hidupnya, kini ia mendengar itu dari seorang yang sudah menyentuh perasaannya. Dalam hati ia bertanya, “Apa yang harus aku katakan padanya?”. “De’, kau mendengarku?”, suara Heru mengagetkan lamunnya. “Iya Mas, aku dengar…”, kemudian dengan agak terpaksa ia berkata lagi, “Aku senang bisa mengenalmu, tapi maaf Mas, aku tidak bisa jadi pacarmu…” Mendengar jawaban Piah, Heru agak terpukul. “Ya sudah kalau itu keputusan ade’, tapi tolong dipikirkan lagi ya, aku tunggu kepastianmu seminggu lagi”. Heru pun mengakhiri percakapan. Air mata Piah menetes perlahan. Tanpa disadari, sebenarnya ia begitu mencintai sosok yang masih asing baginya itu. Seminggu. Ucap Piah pada hatinya yang masih agak ragu dengan keputusannya barusan. Hari demi hari telah berlalu, Piah tak pernah lagi menerima telepon dari orang yang dikasihinya. Dia menjalani harinya dengan kesepian yang melanda jiwa. “Andai saja aku menerimanya…”, ucap Piah dengan penuh penyesalan. “Menerima siapa maksudmu?”, tanya temannya yang selalu ingin tahu seketika mendengar ucapan Piah. Piah hanya tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya. Mereka pun bercakap-cakap. Pagi ini terasa bersahabat. Mentari menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Semua penghuni pesantren binaan semangat menyambut hari ini kecuali seorang gadis yang terlihat menekuk mukanya tak bersemangat. Seminggu yang dijanjikan akan segera tiba. Besok adalah waktu untuk memberikan kepastian akan perasaannya. Gadis itu masih tampak kebingungan. Tangan kanannya memegang kening kemudian mengelus-elus pelan. “Pi, aku jadi khawatir sama kamu. Seminggu ini kamu tampak aneh. Cerita dunk. Barangkali ada yang bisa aku bantu untuk meringankan beban pikiranmu”, ucap Karti perlahan dengan nada yang cukup keibuan itu. Piah yang semula tak ingin bercerita, ini kali ia tak dapat menahan perasaannya. Ia pun menceritakan tentang kejadian demi kejadian yang ia alami semenjak ia bertemu Heru sampai Heru nembak dia. “Hmmm… Ternyata Heru beneran serius sama kamu ya, aku kira dia cuma iseng ketika minta nomor teleponmu. Maaf karena aku nggak minta izin ke kamu dulu ketika berikan nomormu”, terang Karti panjang lebar pada gadis yang sedang dirundung nestapa itu. Setelah merasa lega, seperti biasa mereka semangat pagi dengan mengayuh sepeda ke sekolah. Dalam perjalanan, Piah masih berpikir tentang hari esok yang akan dihadapinya. Dia masih bimbang akan keputusannya. Dia semakin teringat akan cintanya pada Heru. Pacaran… Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. *** Seminggu telah berlalu, hari yang dijanjikan untuk memberikan keputusan telah tiba. Jantung Piah semakin berdegup kencang tak karuan. Fajar makin menyingsing. Waktu menunjukkan pukul 05:47 WIB. Handphone-nya berdering. Tangannya gemetar, hatinya tak karuan, keringat dingin mulai bercucuran. Dia memberanikan diri melihat nama di layar handphone-nya. Mas Heru. Nama yang dinanti-nanti kini ada di layar handphone-nya, tetapi dia tak berani mengangkat panggilan itu. Dia memegangi kepala sambil memanyunkan bibirnya. Dua kali panggilan ia abaikan. Namun, sesaat kemudian berdering untuk ketiga kalinya. Ia pun mengangkat panggilan dan berucap salam dengan suara gemetar. Dalam percakapan kali ini mereka sempat berdebat agak lama tentang prinsip hidup dan keinginan, terlebih oleh Piah sampai akhirnya Heru benar-benar tak sabar dan mengharapkan kepastian dari pujaan hatinya yang telah memenuhi ruang hatinya. “Bagaimana de’ Piah… Aku tidak akan memaksakan perasaan ini, hanya satu yang aku pinta, jujurlah pada perasaanmu, jangan membohongi diri dan perasaanmu de’…”, pinta Heru penuh harap. “Mas… Aku… Aku…”, ucap Piah terbata-bata dan gemetaran. “De’, aku serius menyayangimu, aku ingin membahagiakanmu jika Allah mengizinkan… De’, maukah kau menjadi pacarku?”, kali ini Heru meminta dengan penuh ketegasan. Piah terdiam sejenak kemudian berkata singkat dengan hati yang masih penuh dengan debaran, “Iya Mas… Aku mau…” Di kejauhan sana wajah Heru tampak berseri-seri, dia seperti mendapatkan bulan yang selalu dinantinya. Kini ia bisa meraih bulan itu. Namun di sisi lain, di samping kebahagiaan itu, Piah merasa tak lega, tak tenang dengan keputusan yang baru saja diucapkannya. Pacaran… Satu kata yang tak pernah ada dalam kamus hidupnya, sekarang ia menjadi pelakunya. Hari-hari Piah terasa penuh warna semenjak ia mengenal Heru, apalagi sejak ia jadian dengan Heru. Akan tetapi, ia selalu merasa menjadi orang yang paling bodoh ketika ia selesai melakukan tahajjud. “Ya Allah… Ampuni aku kalau aku telah salah dalam mengambil keputusan… Apa yang harus aku lakukan???”, doa Piah dengan bercucuran airmata yang semakin membanjiri kedua pipinya. Tak terasa sudah sebulan ia jadian dengan Heru. Dia mengenang hari demi hari yang telah ia lalui, terlalu banyak celaka yang ia alami. Minggu pertama ia terjatuh dari sepeda, hal yang tak pernah sekali pun ia alami sebelumnya sampai membuat sahabatnya kaget setengah mati. Minggu kedua, ia hampir tertabrak mobil ketika hendak menyeberang jalan depan sekolah. Sungguh hal begitu menakjubkan oleh teman-temannya. Piah yang terkenal sebagai seorang yang teliti dan berhati-hati dalam melangkah di hidupnya, ia malah terlihat ceroboh ketika itu. Sedangkan yang paling fatal adalah minggu ketiga dan keempat setelah ia jadian, nilai Try Out UAN-nya menurun. “Apakah ini suatu kebetulan ataukah ini murka-Mu terhadapku ya Allah…..?”, tanya Piah dalam hati ketika mentari mulai menampakkan cahyanya. Mempunyai pasangan hidup. Itulah yang menjadi penantian Piah selama ini. Akan tetapi, ia tak menyangka akan menempuhnya dengan berpacaran. “Hmmm….”, ia menghela nafas panjang. Ia merasa bahwa ia telah berdosa. Sejak saat itu Piah tak lagi menghiraukan telepon dari Heru, ia pun sebisa mungkin menghindar ketika Heru berkunjung ke rumah yang ia tempati. Bapak Kiai sampai geleng kepala melihat tingkah anak didiknya itu. Sebulan berlalu, tak pernah ada komunikasi diantara keduanya. Karena itu, Piah merasa bahwa dirinya benar-benar kelewatan. Seharusnya hubungan itu tak pernah terjadi. Seharusnya dia tak perlu menuruti hawa nafsunya untuk menjalin ikatan yang tak seharusnya ia lakukan. Ia juga merasa bersalah karena tak memberi kabar atau penjelasan kepada pacarnya atas sikapnya selama ini. Dia pun mengambil handphone kemudian mencari nama yang hendak dihubunginya. Mas Heru. Nama yang begitu dianggapnya sakral sejak hari jadian mereka. Tut…tut…tut… Tak ada jawaban. Ia mencoba memanggil kembali. Kali ini ada ucapan salam dari arah sana, Piah menjawab salam dengan lembut seperti biasa. “De’ Piah Sayang…, bagaimana kabarmu? Mas begitu merindukanmu Sayang… Kenapa ade’ tak pernah mengangkat telepon dari Mas? Kenapa tak pernah ada kabar darimu, ade’? Apakah Mas punya salah pada ade’? Tolong jangan mendiamkan Mas seperti ini… Mas mencintaimu, ade’ku sayang…”, ungkap Heru panjang lebar. Pertanyaan berantai itu semakin membuat Piah jengkel dan ingin marah. Apalagi panggilan “Sayang” yang semakin membuat risih telinganya. Namun, Piah mengurungkan niatnya untuk marah ketika ia ingat kembali tujuan ia menghubungi pacar kesayangannya itu. “Maafkan ade’ ya Mas… Maaf kalau selama kita kenal, ade’ terlalu banyak melakukan salah baik yang ade’ sengaja ataupun tidak… Terima kasih atas semua kebaikan yang Mas berikan pada ade’ ya…”, Piah berkata dengan hati-hati. Sejenak keduanya terdiam. Heru makin bingung dengan kata-kata pujaan hatinya. Karena itu, Heru minta penjelasan atas ucapan Piah. Mereka pun bicara dengan lembut seperti biasa. Sampai akhirnya, Piah mengutarakan tujuannya telepon kali ini. “Mas, sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita ini ya… Maaf, ade’ nggak bisa jadi pacar Mas lagi… Kita berteman saja ya Mas… Mungkin ini yang terbaik bagi kita mulai saat ini. Terima kasih…”, ucap Piah dengan suara yang mulai parau itu. “Baiklah kalau itu permintaan ade’, Mas terima… Mulai hari ini kita berteman., tapi perlu ade’ ketahui, Mas akan tetap sayang pada ade’, Mas nggak akan pernah melupakan ade’, maaf juga kalau Mas banyak salah pada ade’ ya…”, balas Heru penuh kekecewaan. Semenjak saat itu, keduanya tak pernah berkomunikasi. Ujian Nasional tinggal hitungan hari, 57 hari lagi. Piah masih bermuran durja, jarang bicara, menutup diri dalam kesepiannya. Sahabatnya tak tega melihat Piah seperti itu. Pada malam hari yang begitu sunyi, hanya rintik hujan yang terdengar di telinga. Kali ini Piah bercerita pada sahabatnya lagi setelah lama tak pernah membuka hati. “Ya Allah… Kenapa harus seperti itu Piah? Kenapa tak pernah kau bercerita padaku? Kalau sudah begini, ya mau gimana lagi… Kamu yang sabar ya… Piah yang kukenal bukanlah Piah yang seperti ini. Kembalilah pada hidupmu, tujuan hidupmu, lakukan target hidup yang telah kau tulis rapi itu! Kau harus semangat Sobat!”, ucap Karti dengan penuh semangat ketika menunjuk Mading kecil di kamar mereka yang bertuliskan target hidup Piah. Airmata Piah mulai membanjiri kedua pipinya. Berkali-kali ia beristighfar. Tak terhitung berapa banyaknya. Ia pun berkata kemudian dengak terisak, “Apakah penantianku selama ini belum cukup? Dia yang aku kira jodohku… Apakah penantianku akan tertunda setelah ini? Tapi sampai kapan…?” “Sudahlah… Jangan dipikirkan dulu. Masih ada hari esok. Insya Allah hari esok lebih baik dari hari ini. Allah pasti akan berikan jodoh terbaik buatmu”, hibur Karti sambil mengelus-elus bahu Piah. Keduanya mengamini doa Karti. Seketika senyum manis Piah mulai terlihat lagi. Bibir mungilnya mulai tampak, wajahnya pun terlihat bersinar. Bara semangat di matanya mulai terlukiskan lagi. Penantian yang tertunda ini tak boleh mengakhiri perjuangan hidupnya selama ini. Dia sadar akan kebesaran-Nya. Suatu saat ia pasti akan bertemu dengan pangeran hatinya yang mungkin saat ini masih dalam bayang hidupnya. *** Pati, 17 Februari 2010, 15:29 WIB Silvia Dyah Puspita Sari Penantian yang Tertunda* telah diterbitkan dalam buku antologi cerpen berjudul “Sekolah Kolong Langit”, Maret 2011.

Thursday 27 December 2012

Ruang Menulis Bagi Pemuda oleh: Silvia Dyah Puspita Sari Salah satu aktivitas di hari Ahad ialah menanti “Islam Digest” sebagai wacana. “Islam Digest” sangat menarik untuk dibaca. Banyak ilmu yang bisa didapat di dalamnya, terutama peristiwa mutakhir dan pengetahuan tentang islam. Berkaitan tentang ilmu-ilmu islam, saya ingin mengusulkan agar adanya penambahan rubrik “Islam dan Tulisan” atau pembahasan topik tersebut. Hal ini saya usulkan karena dewasa ini banyak pemuda yang berminat dalam dunia kepenulisan. Supaya tulisan yang mereka tulis bisa tetap dinikmati oleh khalayak ramai karena masih sesuai dengan ajaran islam. Tentunya disertai penjelasan tentang tulisan dan batasan tulisan yang bagaimana tulisan tersebut pantas dikonsumsi publik. Semoga dengan adanya pembahasan tentang topik tersebut dapat memberikan pencerahan tulisan kepada pembaca ataupun kepada pemuda khususnya. Silvia Dyah Puspita Sari Guru SD di Pati, koordinator divisi di organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Pati. #
dimuat di Republika, 2 Desember 2012

Friday 13 July 2012

Melangkah lagi... Kepakkan sayap-sayap mengitari halaman. Hanya sekejap. Mencoba bangkit mendulang tinggi. Kibarkan semangat, terbang dalam angan, setiap kata mempunyai makna. Sayap-sayap itu pun bersinar. Putih terang. Perlahan terangkat. Amboi. Indahnya angkasa bersama butiran mimpi. Inilah cita. Harapan yang pasti akan jadi nyata. Itulah usaha, harapan, dan doa.

PENGUNJUNG

BTemplates.com

Categories

Powered by Blogger.

Senyum Salam Sapa

Selamat datang di Blog saya...

GANBATTE

GANBATTE

PROFILKU

My photo
Pati, Jawa Tengah, Indonesia
Saya itu hanya orang biasa yang berusaha untuk menjadi luar biasa. Keinginan dan kepercayaan yang kuat bisa menjadi motivasi saya untuk terus bergerak. Saya lebih suka sesuatu yang apa adanya, tak perlu dibuat-buat. Santai saja dan semangat tentunya.

Followers

Search This Blog

Popular Posts